BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Dasar Pemikiran
Dalam rangka mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dimana pengabdian pada masyarakat ini dimaninvestasikan dalam suatu kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP), diharapkan peran Perguruan Tinggi dapat lebih optimal dan memberikan efek positif dan nilai plus kepada pemerintah dan masyarakat.
Peranan perguruan tinggi melalui Tridarma semakin hari semakin dibutuhakn dalam masyarakat, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kualitasnya. Salah satu bentuk pelaksanaan Tridarma perguruan tinggi Universitas Haluoleo dari tahun 1972 adalah pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tetapi sejak tahun 2001 pelaksanaan KKN diganti dengan Kuliah Kerja Profesi (KKP) dengan beberapa kegiatanya yang tidak relevan lagi dengan kebutuhan mahasiswa. Oleh karena itu, KKP sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 2001 sampai sekarang.
Kuliah Kerja Profesi (KKP) secara akademik mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Wujud secara nyata penjabaran Tridarma Perguruan Tinggi
2. Sebagai pembanding dalam dunia nyata (empiric) dan teoritis (academy)
3. Sebagai persyaratan mahasisiwa untuk menyelesaikan studinya di universitas haluoleo
Dengan demikian, kami tergabung dalam peserta Kuliah Kerja Profesi (KKP) jurusan manajemen telah dapat membantu tertib administrasi dalam bentuk identifikasi dan sosialisasi, sehingga nanti diharapkan agar :
1. Memberikan kesempatan kepada Mahasiswa dan dosen untk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota kendari
2. Melatih mahasiswa agar dapat mengidentifikasi dan menangani berbagai permasalahan yang sesuai dengan disiplin ilmunya
3. Meningkatkan koordinasi dan kemitraan antara perguruan tinggi dan pihak pemerintah kota, sekolah, dan masyarakat untuk mengatasi masaalah pembangunan Progrfam Kuliah Kerja Profesi (KKP) perlu dikembangkan secara dinamis agar mampu menyelesaikan programnya dengan kebutuhan pembangunan tanpa kehilangan arti mendasar dan falsafah dan tujuan Kuliah Kerja Profesi (KKP).
Program kuliah Kerja Profesi (KKP) Konvensional yang telah di laksanakan selama sepuluh tahun yang lalu, sudah saatnya diganti dengan program kuliah kerja profesi dengan pola yang baru, karena pendekatanya tidak relevan lagi dengan perkembangan mahasiswa, masyarakat, pemerintah maupun perguruan tinggi.
Kuliah kerja Profesi adalah kegiatan Intrakurikuler yang merupakan salah satu bentuk pendidikan dan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Untuk mengidentifikasi serta menangani berbagai masaalah dengan menekankan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menjawab tantangan professi mahasiswa iu sendiri.
1.2. Tema Kegiatan
Tema kegiatan Kuliah Kerja Profesi Angkatan XV Universitas Haluoleo Fakultas Ekonomi mulai 13 Oktober – 26 November 2010: “Melalui Kuliah Kerja Profesi (KKP) Kita Tingkatkan Pengabdian Mahasiswa dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Bangsa”.
1.3. Bentuk dan Program Kegiatan
Bentuk dan Program Kerja yang akan dilaksanakan dalam pelaksanaan KKP Unhalu Angkatan XV di Kec. Puuwatu, Kel. Tobuuha meliputi:
a. Melakukan “Sosialisasi Pendidikan Kewirausahaan Sejak Dini” di lingkungan Kel. Tobuuha khususnya di SMA SANDA MASUMU.
b. Melakukan “Kerja Bakti Sosial di lingkungan Kel. Tobuuha dan di BTN. Graha Asri”. Hal ini guna mendukung instruksi Walikota Kendari dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat menuju Adipura.
c. Menyediakan fasilitas pertamanan dengan melakukan pengadaan cincin pot sebanyak 4 (empat buah).
1.4. Tujuan dan Target Kegiatan
Tujuan dan Target Pelaksanan Kegiatan KKP Universitas Haluoleo Angkatan XV 2010 adalah sebagai berikut:
a. Membina dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni yang dimilikinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
b. Menigkatkan Koordinasi dan kemitraan antara Pihak Perguruan Tinggi, pemerintgah, Kabupaten, Pemerintah Kota, dan Masyarakat Untuk mengatasi masaalah pembangunan.
c. Memeberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menghayati perkembangan pembangunan permasalahan-permasalahan yang di hadapi masyarakat dalam pembangunan serta belajar menangulangi permasalahan-permasalahan secara praktis sesuai dengan dispilin ilmunya.
d. Mendekatkan Aktifitas akdemika Unhalu Kepada Masyarakat dan Menyesuaikan Perguruan Tinggi dengan tuntutan pembangunan.
e. Menambah pengetahuan kepada mahasiswa dengan tujuan merasakan dan melaksanakan kegiatan kerja secara langsung didalam kantor atau instansi tempat KKP.
f. Untuk melaksanakan Salah satu Tri darma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat.
1.5. Sasaran Kegiatan
Sasaran pelaksanaan Program Kerja Profesi Mahasiswa Univeristas Haluoleo angkatan ke – XV Tahun 2010 yang merupakan sebuah gambaran lebih jauh akan peranan mahasiswa dalam memberdayakan masyarakat dan pengembangan diri berdasarkan keterampilan serta ilmu yang di miliki agar mampu memecahkan masaalah yang di dapatkan di lapangan lingkungan bermasyarakat. Oleh karena itu pengimplementasian ilmu dengan bentuk pengabdian masyarakat yang lebih spesifik dan professional akan mengarah kepada program kerja yang di susun dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Profesi berdasarkan tingkatan akan kebutuhan dalam bermasyarakat.
1.6. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kuliah Kerja Profesi (KKP) Angkatan XV tahun 2010 pelaksanaannya di mulai pada tanggal 13 oktober sampai dengan 26 November 2010 yang di tempatkan di Kecamatan Puuwatu, Kelurahan Tobuuha, Kota Kendari.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI KKP
2.1. Sejarah Singkat Kelurahan Tobuuha
Kelurahan tobuuha pada mulanya adalah sebuah kampung kecil yang bernama kampung tobuuha, pada tanggal 23 maret 1965 kampung tersebut berubah menjadi sebuah desa bernama desa tobuuha, dimana yang menjabat adalah seorang kepala desa. Desa ini berdiri selama 15 tahun sejak tahun 1965-1980. Adapun yang menjabat Kepala Desa dalam kurun waktu 15 tahun itu adalah H. La Tama.
Pada awal tahun 1980 Desa Tobuuha berubah menjadi sebuah kelurahan bernama Kelurahan Tobuuha yang sewaktu itu wilayahnya meliputi daerah tobuuha dan punggolaka yang masih dibawah pimpinan H. La Tama sampai tahun 1997.
Tahun 1997 terjadi pemekaran pada Kelurahan Tobuuha. Dimana Kelurahan ini terbagi menjadi dua kelurahan yaitu Kelurahan Tobuuha dan Kelurahan Punggolaka. Di Kelurahan Tobuuha telah tercatat sampai sekarang bahwa telah tercatat tujuh kali pergantian kepala lurah yang menjabat semenjak terjadi pemekaran.
Adapun nama-nama lurah yang telah menjabat di Kelurahan Tobuuha yaitu:
- Drs. Ladido (1997-1999)
- Demara (1999-2001)
- Drs. Ahmad Basri (2001-2003)
- Ir. Solwan Abunawas (2003-2005)
- H. Jamaluddin, SE, M.Si (2005-2008)
- Hengki Nurman, S.Si (2008-2010)
- Abdul Rahman (2010-sekarang)
2.1.1. Struktur Organisasi
Menurut PERDA Nomer 44 tahun 2008 tersebut, struktur organisasi Sekretariat Kelurahan Tobuuha terdiri dari lura yang langsung membawahi sekretaris dan 4 (empat) Seksi antara lain:
a. Seksi pemerintahan dan layanan umum
b. Seksi pelaksana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
c. Seksi ketentraman dan ketertiban umum
d. Seksi data dan pelaporan
Untuk lebih jelasnya, Struktur organisasi secretariat Kelurahan Tobuuha dapat dilihat pada skema berikut ini:
LURAH
ABDUL RAHMAN
NIP. 19580711 198303 1 024
SEKRETARIS
LA ODE NDIBALA
NIP. 19651231 199303 1 120
KEL. JAB. FUNGSIONAL
SEKSI
PEMERINTAHAN DAN PERL. UMUM
ARIF RAHMAN, SE
NIP. 19780515 200701 0 027
Gambar 1: Struktur Organisasi Sekretariat Kelurahan Tobuuha.
2.1.2. Tugas Pokok
Kelurahan tobuuha yang terletak di wilayah kecamatan puuwatu dipimpin oleh seorang lurah yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bertanggung jawab langsung kepada Camat Puuwatu dan secara teknis administrative mendapat pembinaan dari Camat Puuwatu.
Selanjutnya didalam uraian tugas dipertegas tugas masing-masing penjabat di lingkup Kelurahan Tobuuha sebagai berikut:
a. Lurah mempunyai tugas melakukan pembinaan teknis, mengkoordinasikan dan mengendalikan serta merumuskan kebijaksanaan teknis penyelenggaraan tugas di tiap-tiap Kepala Seksi.
b. Sekretaris mempunyai tugas pokok membantu lurah dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh perangkat aparatur kelurahan.
c. Kepala Seksi Pemerintahan dan Layanan Umum mempunyai tugas pokok membantu lurah dalam menyiapkan bahan perumusan kebijaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan pemerintahan.
d. Kepala Seksi pelaksanaan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas pokok membantu lurah dalam menyiapkan bahan perumusan kebijaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
e. Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum mempunyai tugas pokok membantu lurah dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, evaluasi dan pelapuran urusan Ketentraman dan Ketertiban Umum.
f. Kepala Seksi Data dan Pelaporan mempunyai tugas pokok membantu lurah dalam menyiapkan bahan penyusunan laporan hasil pelaksanaan kegiatan kelurahaan..
2.1.3. Fungsi
Dalam menyelenggarakan tugas, Kelurahan Tobuuha mempunyai fungsi mengkoordinir sekretaris dan para Kepala Seksi yang ada dalam Kelurahan Tobuuha.
Untuk dapat menyelenggarakan tugas, maka ditetapkan fungsi setiap pimpinan unit sebagai berikut:
1. Sekretaris mempunyai fungsi:
a. Pengumpulan bahan dan petunjuk teknis pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan urusan kelurahaan serta administrasi pemerintahan kelurahan.
b. Penyusun rencana program tahunan kelurahan.
c. Pelaksanaan pelayanan dan pengelolaan administratif kelurahaan yang meliputi tata usaha umum dan kepegawaian serta pengelolaan keuangan.
d. Pengkoordinasian pelaksanaan tugas-tugas kepala-kepala seksi.
e. Perencanaan pengadaan kebutuhan barang inventaris dan pemeliharaannya.
f. Pelaksanaan evaluasi dan monitoring penyelenggaraan urusan kelurahan dan pengelolaan administratif kelurahan.
g. Pelaksanaan urusan rumah tangga dan perlengkapan.
h. Pelaksanaan urusan kantor dan keamanan kantor.
i. Pelaksanaan tugas dinas yang diberikan oleh lurah baik dalam maupun diluar organisasi.
2. Seksi pemerintahan dan pelayanan umum mempunyai fungsi:
a. Mengumpulkan bahan dan petunjuk teknik penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pelayanan umum.
b. Penyusunan rencana dan program kegiatan operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan kelurahaan di bidang pemerintahan dan pelayanan umum.
c. Penyusunan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan administrasi kependudukan, catatan sipil dan keagrariaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Pelaksanaan evaluasi dan monitoring.
e. Melaksanakan evaluasi dan monitoring.
f. Pembuatan laporan secara berkala tentang penyelenggaraan pemerintahan di kelurahan di bidang pemerintah dan pelayanan umum.
g. Pelaksanaan tugas dinas yang diberikan oleh lurah baik dan maupun di luar organisasi.
3. Seksi Pelaksanaan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat mempunyai fungsi:
a. Pengumpulan dan petunjuk teknis pelaksanaan tugas seksi pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
b. Penyusunan rencana dan program kegiatan operasional penyelenggaraan seksi pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
c. Pengumpulan dan pemeliharaan data potensi wilayah kelurahan.
d. Penyusunan pedoman pembinaan pemberdayaan usaha ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan kesejahteraan keluarga.
e. Pelaksanaan evaluasi dan monitoring.
f. Pembuatan laporan secara berkala tentang penyelenggaraan tugas seksi pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
g. Pelaksanaan tugas dinas yang diberikan oleh lurah baik dalam maupun diluar organsasi.
4. Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum mempunyai fungsi:
a. Pengumpulan bahan baku dan petunjuk teknis pelaksanaan tugas seksi ketentraman dan ketertiban umum.
b. Penyusunan rencana dan program kegiatan operasional, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.
c. Penyusunan pedoman pembinaan ketentraman, keamanan dan ketertiban umum dilingkup kelurahan.
d. Pelaksanaan evaluasi dan monitoring.
e. Pembuatan laporan secara berkala tentang penyelenggaraann tugas seksi ketentraman dan ketertiban umum.
f. Pelaksanaan tugas-tugas yang diberikan oleh lurah baik dalam maupun di luar organisasi.
5. Seksi Data dan Pelaporan mempunyai fungsi:
a. Pengumpulan bahan dan petunjuk teknis pelaksanaan tugas seksi pengelolaan data dan pelaporan.
Pengelolaan data dan penyusuan laporan dari masing-masing seksi tentang penyelenggaraan pemerintahan kelurahan.
b. Penyediaan dan pemeliharaan data dan informasi kelurahan.
c. Pelakasanaan evaluasi dan monitoring
d. Pembuatan laporan secara berkala tentang penyelenggaraan kegiatan dibidang pengelolaan data dan pelaporan.
e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh lurah baik dalam maupun diluar organisasi.
2.2. KEADAAN DEMOGRAFIS
2.2.1. Potensi Sumber Daya Manusia
Jumlah penduduk Kelurahan Tobuuha sebanyak 5131 dengan klasifikasi sebagai berikut: belum sekolah sebanyak 560 orang, tamat SD 500 orang, SMP sederajat 670 orang, SMA Sederajat 2898 orang, D-2 83 orang, S-1 402 orang, S-2 270 orang dan S-3 8 orang.
Mata pencaharian pokok umum masyarakat kelurahan tobuuha adalah pegawai negeri sebanyak 865 orang, buruh/swasta 312 orang, pengrajin 31 orang, pedagang 47 orang, penjahit 12 orang, tukang batu 34 orang, tukang kayu 29 orang, peternak 118 orang, mortar 19 orang, dokter 10 orang, sopir 52 orang, TNI/Polri sebanyak 43 orang dan petani 43 orang.
2.2.2. Potensi Kelembagaan
a. Lembaga Pemerintahan
1. Jumlah aparat pemerintahan 526 orang
2. Pendidikan aparat:
- Sarjana 120 orang
- Diploma 30 orang
- SLTA 250 orang
- SLTP 44 orang
- SD 82 orang
3. Jumlah RW 8
4. Jumlah RT 24
b. Lembaga Kemasyarakatan
- Organisasi perempuan sebanyak 33 kelompok dasa wisma dengan jumlah anggota sebanyak 570 orang.
- PKK dengan jumlah anggota 50 orang
- Kepemudaan dan karang Taruna sebanyak 4 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 100 orang.
- Majelis taklim terdiri dari 8 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 210 orang.
- LPM dengan jumlah anggota sebanyak 14 orang.
- Kelompok gotong royong berjumlah 8 kelompok dengan jumlah anggota 160 orang.
c. Lembaga Politik dan Ekonomi
Lembaga politik yang ada dikelurahan Tobuuha adalah terdiri dari Partai Golkar, PPP, Demokrat, PKS, PPD, PNBK, PBB, GERINDRA, HANURA, PATRIOT, REPUBLIKAN, PBR, PAN dan Partai Buruh. Sedangkan Lembaga Ekonomi yang terdapat di Kelurahan Tobuuha adalah terdiri atas Koperasi 3 Unit dengan jumlah anggota 38 orang, industry meubel 5 unit dengan jumlah tenaga kerja 25 orang, usaha perdagangan 4 tempat, warung makan 4 unit, bengkel 9 unit serta toko/swalayan 2 unit.
d. Lembaga Pendidikan
Lembaga Pendidikan yang ada di kelurahan Tobuuha terdiri atas TK 1 unit dengan jumlah guru 6 orang dan jumlah murid 60 orang, SD 1 unit dengan jmulah guru 31 dan jumlah murid 725 orang, SMA 1 unit dengan jumlah guru 12 orang dan jumlah murid 215 orang.
2.2.3. Potensi Sarana dan Prasarana
a. Prasarana Komunikasi
Memiliki 1 unit wartel dengan jumlah pelanggan sebanyak 110 pelanggan.
b. Prasarana air bersih
Jumlah sumur pompa 9 unit dalam keadaan baik dengan jumlah pengguna 2 KK, jumlah sumur gali 25 dengan jumlah pengguna 635 KK, pengguna PAM sebanyak 990 KK.
c. Prasarana Peribadataan dan Olahraga
Jumlah sarana peribadatan (Mesjid, Langgar, Surau, Moshola) 9 buah dalam keadaan baik. Jumlah gereja 1 buah dalam keadaan baik.
Sedangkan sarana olahraga yaitu lapangan bulutangkis berjumlah 5 tempat, lapangan volley berjumlah 4 tempat.
d. Prasarana Kesehatan dan Penerangan
Prasarana kesehatan terdiri dari tempat dokter praktek 1 dan 2 unit posyandu.
Sedangkan sarana penerangan terdiri dari jalam Provinsi Kab/Kota adalah penerangan listrik yang baik dan lampu penerangan jalan kampung dengan kondisi baik.
2.3. KEADAAN GEOGRAFIS
Wilayah kota Kendari dengan Ibukota kendari dan seklaigus juga sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis terletak dibagian selatan garis khatulistiwa. Berada di antara 3054 30’’ – 40 3”11 LS dan membentang dari barat ke timur diantara 122o23’’ – 122039’ bujur timur. Kelurahan Tobuuha memeliki luas kurang lebih 9,36 Km2 dengan pembagian terdiri dari: Luas Pemukinan 4 Km2, luas pekarangan 2,7 Km2, Luas Taman 0,5 Km2, luas perkantoran 1 Km2, luas prasarana umum lainnya 1,16 Km2. Dengan batasan-batasan wilayah yaitu:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Alolama dan Kelurahan Wawombalata.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Mandongga dan Kelurahan Anggilowu.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Pondambea dan Kelurahan Mandonga.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Punggolaka.
BAB III
IDENTIFIKASI POTENSI DAN PERMASALAHAN LOKASI KKP
3.1. Potensi Masyarakat di Kel. Tobuuha
Jumlah penduduk Kelurahan Tobuuha sebanyak 5131 dengan klasifikasi sebagai berikut: belum sekolah sebanyak 560 orang, tamat SD 500 orang, SMP sederajat 670 orang, SMA Sederajat 2898 orang, D-2 83 orang, S-1 402 orang, S-2 270 orang dan S-3 8 orang.
Mata pencaharian pokok umum masyarakat kelurahan tobuuha adalah pegawai negeri sebanyak 865 orang, buruh/swasta 312 orang, pengrajin 31 orang, pedagang 47 orang, penjahit 12 orang, tukang batu 34 orang, tukang kayu 29 orang, peternak 118 orang, mortar 19 orang, dokter 10 orang, sopir 52 orang, TNI/Polri sebanyak 43 orang dan petani 43 orang.
3.2. Permasalahan
Berdasarkan hasil survey dan observasi di lokasi KKP di Kel. Tobuuha maka terdapat sejumlah permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi pada waktu pelaksanaan KKP angakatan XV di Kelurahan Tobuuha sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran masyarakat setempat terhadap kebersihan, Hal ini dapat di lihat dari kurangnya partsipasi di dalam menjaga kebersihan yaitu tidak adanya rasa memiliki, menjaga dan melesatarikan lingkungan yang baik, sehingga yang menjaga kebersihan hanyalah instansi kelurahan setempat.
2. Belum terjalinnya kerjasama yang baik antara pihak kelurahan dengan masyarakat khususnya dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
3. Minimnya pengetahuan siswa-siswa SMA SANDA MASUMU dalam pendidikan kewirausahaan.
4. Kurangnya dana operasional yang mendukung kegiatan Kerja di Kelurahan puuwatu seperti terbatasnya peralatan kebersihan di Keluran Tobuuha
3.3. Program Kerja
Bentuk dan Program Kerja yang akan dilaksanakan dalam pelaksanaan KKP Unhalu Angkatan XV di Kec. Puuwatu, Kel. Tobuuha meliputi:
- Melakukan “Sosialisasi Pendidikan Kewirausahaan Sejak Dini” di lingkungan Kel. Tobuuha khususnya di SMA SANDA MASUMU.
- Melakukan “Kerja Bakti Sosial di lingkungan Kel. Tobuuha dan di BTN. Graha Asri”. Hal ini guna mendukung instruksi Walikota Kendari dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat menuju Adipura.
- Menyediakan fasilitas pertamanan dengan melakukan pengadaan cincin pot sebanyak 4 (empat buah).
BAB IV
PELAKSANAAN DAN KEGIATAN PROGRAM
4.1. Deskripsi Pelaksanaan Program Kerja
Deskripsi pelaksanaan program kerja Mahasiswa KKP Angatan XV Universitas Haluoleo di Kelurahan Tobuuha sebagai berikut:
a. Program Kerja Sosialisasi di adakan di SMA SANDA MASUMU di kelurahan Puuwatu dengan tema “ Pentingnya Pendidikan Kewirausaahan demi mencapai Manusia yang unggul dalam Prestasi, kinerja yang baik, disiplin dan Menguntungkan Yang berdampak pada tertatanya Ekonomi Yang baik dan Terstruktur. Dimana kegiatan di adakan pada tanggal 29-10-2010. Sosialisasi di hadidri 50 peserta dari siswa/ i dari kelas X, XI, dan XII.
b. Program Kerja Pengadaan Pot di Kelurahan Puwaatu. Dimana, Pot Bunga tersebut berukuran Diameter 1 meter dan Tinggi 40 cm. Kegiatan tersebut di adakan pada tanggal 23 – 11 -2010 . program tersebut di lakukan untuk menjadikan kelurahan Tobuuha sebagai Kelurahan yang baik dari segi Internal dan Eksternal (Lingkungan ).
c. Program/ penugasan Kerja Bakti di Kelurahan Tobuuha dan di Graha Asri. Kegiatan tersebut di adakan Setiap Hari selasa dan Jumat. Tujuan di adakan Kerja Bakti adalah Untuk Menjaga Lingkungan yang bersih, Sehat dan Nyaman .
4.2. Faktor Pendukung Pelaksanan Program Kerja
Faktor-faktor pendukung pelaksanaan program kerja mahasiswa KKP Angkatan XV Universitas Haluoleo di Kelurahan Tobuuha sebagai berikut:
a. Adanya dukungan dari Camat, Lurah dan lapisan masyarakat khususnya Kepala Sekolah SMA Sanda Masumu dalam mensukseskan kegiatan “Sosialisasi Pendidikan kewirausahaan di SMA Sanda Masumu , sehingga Program Kerja tersebut berjalan dengan efektif, dan efisien serta tergolong sukses.
b. Lokasi/Tempat Kuliah Kerja Profesi (Kelurahan Tobuuha) dengan lokasi sosialisasi pendidikan kewirausahaan dapat di jangkau dengan mudah oleh mahasiswa KKP sehingga memudahkan Mahasiswa di dalam menjalankan Program Kerja tanpa memikirkan transportasi yang akan di gunakan.
c. Partisipasi Yang Baik oleh Staf Kelurahan Tobuuha di dalam menjaga kebersihan lingkungan . Hal ini di lihat dari komitmen staff di dalam menjaga linkungan dengan baik, demi tercapainya lingkungan Yang bersih, Sehat dan nyaman di Kelurahan Tobuuha Kecamatan Puuwatu.
4.3. Faktor Penghambat
Faktor-faktor penghambat pelaksanaan program kerja mahasiswa KKP Angkatan XV Universitas Haluoleo di Kelurahan Tobuuha sebagai berikut:
a. Terbatasnya peralatan kebersihan di Kelurahan Tobuuha seperti Parang, sapu, dll
b. Kurangnya partispasi dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dilingkungan sekitar mereka.
c. Kurang kompaknya Mahasiswa KKP Angkatan XV Universitas Haluoleo dalam pengadaan pot bunga di Kelurahan Tobuuha.
d. Tidak adanya dana operasional dalam pelaksanaan program kerja dari pihak LP2M Universitas Haluoleo dan pihak kelurahan sehingga ada beberapa program kerja yang tidak bisa terealiasasikan dilapangan.
e. Minimnya kehadiran dosen pembinbing dan mahasiswa KKP Angakatan XV Uviversitas Haluoleo Lokasi KKP sehingga menyebabkan tidak adanya kontrol yang jelas dalam menyelesaikan program kerja.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil Pelaksanaan Kuliah Kerja Profesi (KKP) Angkatan XV Universitas Haluoleo tahun 2010 yang berlokasikan di Kelurahan Tobuuha, Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Melalui pelaksanaan kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP), ini membuktikan bahwa mahasiswa sebagai warga intelektual yang sekaligus bagain dari masyarakat ilmiah yang dapat memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan pembangunan di daerah Sulawesi Tenggala, khususnya di Kelurahan Tobuuha, Kecamatan Puuwatu dengan jalan mengaplikasikan disiplin ilmu yang ditekuninya kepada masyarakat.
b. Kegitan Kuliah Kerja Profesi (KKP) merupakan sarana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai dengan jurusan keilmuaan masing-masing yang diperoleh selama proses pendidikan kepada masyarakat dalam hubungannya dengan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian Kepada Masyarakat.
c. Kelurahan Tobuuha berkomitmen tinggi di dalam menjalankan tatanan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran pegawai yang tepat waktu, hanya terkadang beberapa yang sering malas dan datang terlambat dan cepat dalam melayani masyarakat setempat. Baik dari pengurusan KTP, surat-surat izin lainnya serta komitmennya dalam menjaga kebersihan lingkungan setempat sangat tinggi guna melaksanakan instruksi Walikota Kendari.
d. Instansi Kelurahan Tobuuha yang ramah terhadap Peserta KKP Angktan XV Universitas Haluoleo. Hal ini dapat di lihat pada komitmennya dalam memberikan dukungan guna menyukseskan program Kerja.
5.2. Rekomendasi (Saran-saran)
Agar pelaksanaan Kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) Universitas Haluoleo yang akan datang dapat terlaksana dengan baik dan berkualitas, maka ada beberapa hal yang dapat saya rekomendasikan kepada pihak LP2M Universitas Haluoleo dan Pihak Kelurahan Tobuuha yaitu:
a. Pembekalan yang dilaksanakan dari pihak jurusan dan pihak LP2M Universitas Haluoleo kepada peserta KKP belum maksimal, sehingga dalam pelaksanaan dilapangan masih banyak kendala-kendala. Maka dari itu saya mengharapkan kepada semua pihak yang terkait dan yang terlibat dalam pelaksanaan KKP harus lebih kreatif dan memberikan pembekalan yang lebih maksimal dengan menambah waktu pembelakan bukan cuman 2 hari saja.
b. Untuk pihak LP2M Universitas Haluoleo, didalam penentuan lokasi KKP harus berdasarkan keahlian dan disesuaikan dengan jurusan atau bidang disiplin ilmu yang ditekuni oleh mahasiswa KKP. Hal ini bertujuan agar pelaksanaannya benar-benar maksimal dan berkualitas.
c. Dalam pelaksanaan KKP kedepannya pihak LP2M Universitas Haluoleo dan pihak Walikota Kendari harus menyediakan dana operasional guna menunjang dan mensukseskan program kerja yang disusun oleh mahasiswa KKP sehingga programnya bisa terealiasasikan dilapangan.
d. Minimnya kerjasama dan komunikasi dosen pembimbing dengan mahasiswa KKP. Hal ini dapat melahirkan kendala-kendala dalam melaksanakan program kerja. Maka dari itu saya menghimbau kepada pembimbing untuk pelaksanaan KKP berikutnya harus lebih meningkatkan kerjasamanya dengan mahasiswa KKP guna memberikan motivasi dan mengontrol pelaksanan KKP dan perealisasian program kerja dilapangan.
e. Untuk pihak Kelurahan Tobuuha, diharapkan agar memperhatikan kehadirannya, bekerjasama dan membimbing peserta KKP serta mengontrol program kerja yang telah disusun.
Zayardin Adin
Senin, 21 Februari 2011
PERENCANAAN PESAN-PESAN BISNIS
PERENCANAAN PESAN-PESAN BISNIS
Oleh : Zayardin Adin
Perencanaan pesan, merupakan suatu langkah strategis bagi pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh dan merupakan salah satu factor penentu keberhasilan komunikasi. Pesan–pesan bisnis yang terencana dengan baik akan mempermudah pencapaian tujuan komunikasi.
Dalam ringkasan materi ini, akan dibahas proses komposisi, penentuan tujuan, analisis audience, penentuan ide pokok dan seleksi saluran dan media komunikasi.
A. PEMAHAMAN PROSES KOMPOSISI
Proses komposisi (composition process) penyusunan pesan-pesan bisnis dapat di analogikan dengan proses penciptaan lagu seperti yang dilakukan oleh seorang composer. Dia harus merencanakan lagu apa yang aka bibuat untuk mengiringi lagu tersebut. Kemudian mereka harus melakukan latihan dan uji ulang atau revisi-revisi yang diperlukan, sehingga lagu yang diciptakan mempunyai mutu yang bagus, enak didengar dan mudah dicerna oleh para pengemarnya.
Penyusunan pesan-pesan bisnis meliputi tiga tahap, yaitu :
a) Pencanaan
Dalam fase perencanaan (planning phase), dipikirkan hal-hal cukup mendasar, seperti yang akan menerima pesan, ide pokok (main idea) pesan-pesan yang akan disampaikan dan saluran atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
b) Komposisi
Komposisi erat kaitannya dengan penyusunan atau pengaturan kata-kata, kalimat dan paragraph. Hal ini mengunakan kata-kata yang sederhana, mudah dipahami, dimengerti dan dilaksanakan oleh si penerima.
c) Revisi
Setelah ide dituangkan dalam kata-kata, kalimat, dan paragraph, perhatikan apakah kata-kata tersebut telah diekspresikan dengan benar. Seluruh maksud dan isi pesan harus ditelah kembali, apakah sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya atau tidak.
B. PENENTUAN TUJUAN
Dalam merencanakan suatu pesan bisnis hal yang pertama dilakukan adalah memikirkan maksuda atau tujuan komunikasi. Untuk dapat melakukan dan menjaga goodwill di hadapan audience, maka hal pertama-tama ia harus menentukan tujuan yang jelas dan dapat diukur, sesuai dengan tujuan organisasi.
1. Mengapa tujuan itu harus jelas.
Dengan tujuan yang jelas maka akan membantu pengambilan beberapa keputusan diantaranya sebagai berikut :
a) Keputusan untuk meneruskan pesan .
Sebelum menyampaikan suatu pesan, tanyakan pada diri sendiri sendiri, apakah pesan yang akan disampaikan benar-benar diperlukan atau tidak?
b) Keputusan untuk menenggapi audience
Untuk memutuskan cara terbaik menanggapi audience, komunikator perlu mempertimbangkan motif-motif mereka. Mengapa mereka memperhatikan inti pesan yang disampaikan? Apakah mereka mengharapkan keuntungan? Apakah harapan mereka sesuai dengan harapan komunikator? Tanpa mengetahui tanpa mengetahui motif audiencenya, komunikator tidak dapat menanggapi mereka dengan baik.
c) Keputusan untuk memutuskan isi
Menetapkan tujuan yang jelas akan membantu memusatkan isi pesan. Komunikator seharusnya hanya memasukkan informasi yang penting, yang relevan dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Informasi yang tidak relevan harus di singkirkan jauh-jauh.
d) Keputusan untuk menetapkan saluran atau media
Penentuan saluran atau media yang akan digunakan untuk menyampaikan suatu pesan, sangat tergantung pada tujuan yang dikehendaki. Saluran komunikasi yang akan digunakan dapat berupa lisan atau tulisan.
2. Tujuan komunikasi bisnis
Secara umum, ada tiga tujuan komunikasi bisnis yaitu :
a. Memberi informasi (informing)
b. Persuasi (persuading)
c. Kolaborasi (collaborating) dengan audience.
3. Cara Menguji Tujuan
Ada empat pertanyaan dalam menguji tujuan yang tela ditentukan yaitu :
a) Apakah tujuan tersebut realistis?
b) Apakah waktunya tepat?
c) Apakah orang yang mengirimkan pesan sudah tepat?
d) Apakah tujuannya dapat diterima oleh perusahaan
C. ANALISIS AUDIENCE
Setelah komunikasi tersebut telah memiliki maksud dan tujuan yang jelas, langkah selanjutnya adalah memperhatikan audience yang akan dihadapi. Siapa mereka, bagaimana sikap mereka dan apa yang mereka ketahui?
1) Cara mengembangkan profil audience
a. Berapa jumlah dan bagaimana komposisi audience?
Audience dalam jumlah besar tentu saja akan menunjukan prilaku yang berbeda dengan audience yang berjumlah sedikit sehingga untuk mengadapi diperlukan teknik komunikasi yang berbeda pula. Bentuk dan format penulisan materi yang akan disampaikan juga ditentukan oleh jumlah audience.
b. Siapa audience
Bila audience yang dituju lebih dari satu orang komunikator perlu mengidentifikasi siapa diantara mereka yang memegang posisi kunci/posisi yang penting, seperti mereka yang memiliki status organisasional tinggi.
c. Reaksi audience
Setelah mengetahui siapa yang menjadi audience, perlu diketahui komposisi audience adalah orang-orang yang tidak suka berdebat atau kurang kritis,
d. Bagaimana tingkat pemahaman audience?
Ketika menyampaikan pesan-pesan, latar belakang audience seperti tingkat pendidikan, usia, dan pengalaman juga perlu diperhatikan. Jika komunikator dan audience memiliki latar belakang yang jauh berbeda, perlu diputuskan terlebih dahulu seberapa jauh audience tersebut dididik.
e. Bagaimana hubungan komunikator dengan audience?
Jika komunikator adalah orang yang belum dikenal oleh audience, audience harus dapat diyakinkan sebelum presentasi disampaikan. Komunikator dengan penampilan yang meyakinkan akan membuat audience termotivasi untuk mendengarkan dan menyimak pembicaraannya, sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik.
2) Cara memuaskan kebutuhan informasi audience.
Salah satu kunci dari komunikasi yang efektif adalah mengetahui kebutuhan informasi audience dan selajuntnya berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.
Ada lima tahap yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan audience yaitu :
a. Temukan/cari yang diinginkan oleh audience
b. Antisipasi terhadap pertanyaan yang tak diungkapkan
c. Berikan semua informasi yang diperlukan
d. Yakinkan bahwa informasinya akurat
e. Tekankan ide-ide yang paling menarik bagi audience.
3) Cara memuaskan kebutuhan motivasional audience
Beberapa jenis pesan bertujuan memotivasi audience untuk mau mengubah prilaku mereka. Tetapi, pemberian motivasi ini seringkali mengalami hambatan/ kendala. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan dari audience untuk tidak mau mengubah sesuatu yang ada dengan hal yang lebih baru. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut perlu melakukan pendekatan dengan memberikan argumentasi yang bersifat rasional dan pendekatan emosi audience.
D. PENENTUAN IDE POKOK
Setelah menganalisis tujuan dan audience, langkah selanjutnya adalah menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Topik dan ide pokok merupakan dua htal yang berbeda. Topik adalah subjek pesan yang luas. Sedangkan ide adalah pokok adalah pernyataan tentang suatu topik, yang menjelaskan isi dan tujuan dari topik tersebut sehingga dapat diterima oleh audience.
Sebelum menentukan ide pokok terlebih dahulu yang harus diidentisikasi adalah :
1. Teknik Brainstorming.
a) Storyteller’s tour
Hidupkan tape recorder dan telaah pesan-pesan yang disampaikan. Fokuskan pada alasan berkomunikasi, poin utama, rasionalitas dan implikasi bagi sipenerima.
b) Random list
Tulis segala sesuatu yang ada dalam pikiran diatas kertas kosong. Selanjutnya pelajari hubungan antara ide-ide tersebut.
c) CFR (Conclusions, findings, recommendations¬¬¬) Worksheet.
Jika subjek yang dibahas mencekup pemecahan masalah, gunakanlah suatu worksheet yang akan membantu menjelaskan hubungan antara temuan (findings), kesimpulan (conclusions) dan rekomendasi (recommendation) yang akan di berikan.
d) Journalistic Approach
Pendekatan jurnalistik memberika poin yang baik sebagai langkah awal menentukan ide pokok.
e) Question And Answer Chain
Barangkali pendekatan yang terbaik adalah melihat dari sisi perspektif audience.
f) Pembatasan cakupan
penyajian rutin kepada audience yang telah Anda kenal hendaknya menggunakan kata-kata yang singkat. Cara ini dapat membangkitkan rasa hormat audience kepada komunikator, sedangkan penyampaian pesan yang kompleks dan controversial akan memakan waktu yang lebih lam, terutama jika audience yang hadir terdiri atas orang-orang yang spektial, atau orang-orang yang tidak dikenal sebulumnya.
E. SELEKSI SALURAN DAN MEDIA
Pesan-pesan bisnis harus sesuai dengan situasi yang ada. Ide-ide dapat disampaikan melalui dua saluran yaitu saluran lisan dan tulisan. Pilihan mendasar berbicara dan menulis tergantung pada tujuan dan maksud pesan audience dan karakteristik dari dua saluran komunikasi tersebut.
a. Komunikasi Lisan
Salah satu kebaikan dari komunikasi lisan adalah kemampuanya memberikan umpan balik dengan segera. Saluran digunakan bila pesan yang disampaihakan sederhana, tidak diperlukan catatan permanent dan audience dapat dibuat lebih nyaman. Kelebihan yang lain yaitu sifatnya yang ekonomis.
Komunikasi lisan mencakup antara lain percakapan antara dua orang yang tidak terencan, pembicaran lewat telepon, wawancaram pertemuan kelompok kecil, seminar, workshop, program pelatihan, pidato formal dan prentasi penting lainnya.
b. Komunikasi Tertulis
Pesan-pesan tertulis dapat disampaikan melalui berbagai macam bentuk seperti surat, memo, dan laporan. Salah satu kebaikan dari komunikasi tertulis yaitu penulis mempunyai kesempatan untuk merencanakan dan mengendalikan pesan-pesan mereka.
Oleh : Zayardin Adin
Perencanaan pesan, merupakan suatu langkah strategis bagi pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh dan merupakan salah satu factor penentu keberhasilan komunikasi. Pesan–pesan bisnis yang terencana dengan baik akan mempermudah pencapaian tujuan komunikasi.
Dalam ringkasan materi ini, akan dibahas proses komposisi, penentuan tujuan, analisis audience, penentuan ide pokok dan seleksi saluran dan media komunikasi.
A. PEMAHAMAN PROSES KOMPOSISI
Proses komposisi (composition process) penyusunan pesan-pesan bisnis dapat di analogikan dengan proses penciptaan lagu seperti yang dilakukan oleh seorang composer. Dia harus merencanakan lagu apa yang aka bibuat untuk mengiringi lagu tersebut. Kemudian mereka harus melakukan latihan dan uji ulang atau revisi-revisi yang diperlukan, sehingga lagu yang diciptakan mempunyai mutu yang bagus, enak didengar dan mudah dicerna oleh para pengemarnya.
Penyusunan pesan-pesan bisnis meliputi tiga tahap, yaitu :
a) Pencanaan
Dalam fase perencanaan (planning phase), dipikirkan hal-hal cukup mendasar, seperti yang akan menerima pesan, ide pokok (main idea) pesan-pesan yang akan disampaikan dan saluran atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
b) Komposisi
Komposisi erat kaitannya dengan penyusunan atau pengaturan kata-kata, kalimat dan paragraph. Hal ini mengunakan kata-kata yang sederhana, mudah dipahami, dimengerti dan dilaksanakan oleh si penerima.
c) Revisi
Setelah ide dituangkan dalam kata-kata, kalimat, dan paragraph, perhatikan apakah kata-kata tersebut telah diekspresikan dengan benar. Seluruh maksud dan isi pesan harus ditelah kembali, apakah sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya atau tidak.
B. PENENTUAN TUJUAN
Dalam merencanakan suatu pesan bisnis hal yang pertama dilakukan adalah memikirkan maksuda atau tujuan komunikasi. Untuk dapat melakukan dan menjaga goodwill di hadapan audience, maka hal pertama-tama ia harus menentukan tujuan yang jelas dan dapat diukur, sesuai dengan tujuan organisasi.
1. Mengapa tujuan itu harus jelas.
Dengan tujuan yang jelas maka akan membantu pengambilan beberapa keputusan diantaranya sebagai berikut :
a) Keputusan untuk meneruskan pesan .
Sebelum menyampaikan suatu pesan, tanyakan pada diri sendiri sendiri, apakah pesan yang akan disampaikan benar-benar diperlukan atau tidak?
b) Keputusan untuk menenggapi audience
Untuk memutuskan cara terbaik menanggapi audience, komunikator perlu mempertimbangkan motif-motif mereka. Mengapa mereka memperhatikan inti pesan yang disampaikan? Apakah mereka mengharapkan keuntungan? Apakah harapan mereka sesuai dengan harapan komunikator? Tanpa mengetahui tanpa mengetahui motif audiencenya, komunikator tidak dapat menanggapi mereka dengan baik.
c) Keputusan untuk memutuskan isi
Menetapkan tujuan yang jelas akan membantu memusatkan isi pesan. Komunikator seharusnya hanya memasukkan informasi yang penting, yang relevan dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Informasi yang tidak relevan harus di singkirkan jauh-jauh.
d) Keputusan untuk menetapkan saluran atau media
Penentuan saluran atau media yang akan digunakan untuk menyampaikan suatu pesan, sangat tergantung pada tujuan yang dikehendaki. Saluran komunikasi yang akan digunakan dapat berupa lisan atau tulisan.
2. Tujuan komunikasi bisnis
Secara umum, ada tiga tujuan komunikasi bisnis yaitu :
a. Memberi informasi (informing)
b. Persuasi (persuading)
c. Kolaborasi (collaborating) dengan audience.
3. Cara Menguji Tujuan
Ada empat pertanyaan dalam menguji tujuan yang tela ditentukan yaitu :
a) Apakah tujuan tersebut realistis?
b) Apakah waktunya tepat?
c) Apakah orang yang mengirimkan pesan sudah tepat?
d) Apakah tujuannya dapat diterima oleh perusahaan
C. ANALISIS AUDIENCE
Setelah komunikasi tersebut telah memiliki maksud dan tujuan yang jelas, langkah selanjutnya adalah memperhatikan audience yang akan dihadapi. Siapa mereka, bagaimana sikap mereka dan apa yang mereka ketahui?
1) Cara mengembangkan profil audience
a. Berapa jumlah dan bagaimana komposisi audience?
Audience dalam jumlah besar tentu saja akan menunjukan prilaku yang berbeda dengan audience yang berjumlah sedikit sehingga untuk mengadapi diperlukan teknik komunikasi yang berbeda pula. Bentuk dan format penulisan materi yang akan disampaikan juga ditentukan oleh jumlah audience.
b. Siapa audience
Bila audience yang dituju lebih dari satu orang komunikator perlu mengidentifikasi siapa diantara mereka yang memegang posisi kunci/posisi yang penting, seperti mereka yang memiliki status organisasional tinggi.
c. Reaksi audience
Setelah mengetahui siapa yang menjadi audience, perlu diketahui komposisi audience adalah orang-orang yang tidak suka berdebat atau kurang kritis,
d. Bagaimana tingkat pemahaman audience?
Ketika menyampaikan pesan-pesan, latar belakang audience seperti tingkat pendidikan, usia, dan pengalaman juga perlu diperhatikan. Jika komunikator dan audience memiliki latar belakang yang jauh berbeda, perlu diputuskan terlebih dahulu seberapa jauh audience tersebut dididik.
e. Bagaimana hubungan komunikator dengan audience?
Jika komunikator adalah orang yang belum dikenal oleh audience, audience harus dapat diyakinkan sebelum presentasi disampaikan. Komunikator dengan penampilan yang meyakinkan akan membuat audience termotivasi untuk mendengarkan dan menyimak pembicaraannya, sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik.
2) Cara memuaskan kebutuhan informasi audience.
Salah satu kunci dari komunikasi yang efektif adalah mengetahui kebutuhan informasi audience dan selajuntnya berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.
Ada lima tahap yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan audience yaitu :
a. Temukan/cari yang diinginkan oleh audience
b. Antisipasi terhadap pertanyaan yang tak diungkapkan
c. Berikan semua informasi yang diperlukan
d. Yakinkan bahwa informasinya akurat
e. Tekankan ide-ide yang paling menarik bagi audience.
3) Cara memuaskan kebutuhan motivasional audience
Beberapa jenis pesan bertujuan memotivasi audience untuk mau mengubah prilaku mereka. Tetapi, pemberian motivasi ini seringkali mengalami hambatan/ kendala. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan dari audience untuk tidak mau mengubah sesuatu yang ada dengan hal yang lebih baru. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut perlu melakukan pendekatan dengan memberikan argumentasi yang bersifat rasional dan pendekatan emosi audience.
D. PENENTUAN IDE POKOK
Setelah menganalisis tujuan dan audience, langkah selanjutnya adalah menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Topik dan ide pokok merupakan dua htal yang berbeda. Topik adalah subjek pesan yang luas. Sedangkan ide adalah pokok adalah pernyataan tentang suatu topik, yang menjelaskan isi dan tujuan dari topik tersebut sehingga dapat diterima oleh audience.
Sebelum menentukan ide pokok terlebih dahulu yang harus diidentisikasi adalah :
1. Teknik Brainstorming.
a) Storyteller’s tour
Hidupkan tape recorder dan telaah pesan-pesan yang disampaikan. Fokuskan pada alasan berkomunikasi, poin utama, rasionalitas dan implikasi bagi sipenerima.
b) Random list
Tulis segala sesuatu yang ada dalam pikiran diatas kertas kosong. Selanjutnya pelajari hubungan antara ide-ide tersebut.
c) CFR (Conclusions, findings, recommendations¬¬¬) Worksheet.
Jika subjek yang dibahas mencekup pemecahan masalah, gunakanlah suatu worksheet yang akan membantu menjelaskan hubungan antara temuan (findings), kesimpulan (conclusions) dan rekomendasi (recommendation) yang akan di berikan.
d) Journalistic Approach
Pendekatan jurnalistik memberika poin yang baik sebagai langkah awal menentukan ide pokok.
e) Question And Answer Chain
Barangkali pendekatan yang terbaik adalah melihat dari sisi perspektif audience.
f) Pembatasan cakupan
penyajian rutin kepada audience yang telah Anda kenal hendaknya menggunakan kata-kata yang singkat. Cara ini dapat membangkitkan rasa hormat audience kepada komunikator, sedangkan penyampaian pesan yang kompleks dan controversial akan memakan waktu yang lebih lam, terutama jika audience yang hadir terdiri atas orang-orang yang spektial, atau orang-orang yang tidak dikenal sebulumnya.
E. SELEKSI SALURAN DAN MEDIA
Pesan-pesan bisnis harus sesuai dengan situasi yang ada. Ide-ide dapat disampaikan melalui dua saluran yaitu saluran lisan dan tulisan. Pilihan mendasar berbicara dan menulis tergantung pada tujuan dan maksud pesan audience dan karakteristik dari dua saluran komunikasi tersebut.
a. Komunikasi Lisan
Salah satu kebaikan dari komunikasi lisan adalah kemampuanya memberikan umpan balik dengan segera. Saluran digunakan bila pesan yang disampaihakan sederhana, tidak diperlukan catatan permanent dan audience dapat dibuat lebih nyaman. Kelebihan yang lain yaitu sifatnya yang ekonomis.
Komunikasi lisan mencakup antara lain percakapan antara dua orang yang tidak terencan, pembicaran lewat telepon, wawancaram pertemuan kelompok kecil, seminar, workshop, program pelatihan, pidato formal dan prentasi penting lainnya.
b. Komunikasi Tertulis
Pesan-pesan tertulis dapat disampaikan melalui berbagai macam bentuk seperti surat, memo, dan laporan. Salah satu kebaikan dari komunikasi tertulis yaitu penulis mempunyai kesempatan untuk merencanakan dan mengendalikan pesan-pesan mereka.
Melihat Kembali Dinamika Gerakan Mahasiswa
Melihat Kembali Dinamika Gerakan Mahasiswa
Oleh: Zayardin Adin
Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut (kelompok kesiangan), setelah perubahan berlangsung.
Munculnya kelompok kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap perubahan sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah proses inovasi dalam perubahan sosial, Hadley Read (1979) mengatakan bahwa biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor (earlier adopters) yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil komponen masyarakat lainnya masuk dalam kelompok ini. Setelah kelompok pelopor melakukan sosialisasi dalam waktu tertentu, barulah muncul “kelompok kesiangan” (later adopters) yang jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa kelompok kecil yang menolak sama sekali inovasi yang sudah memasyarakat itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung status quo (non adopters). Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat dalam setiap perubahan sosial yang tengah berlangsung. Mereka adalah kelompok masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah sistem yang menguntungkan mereka. Kelompok ini juga yang diidentifikasi oleh mahasiswa sebagai musuh mereka.
Klasifikasi Read di atas tidak hanya berlaku umum dalam masyarakat ketika perubahan berlangsung, ia juga terjadi dalam tubuh mahasiswa sendiri. Di kalangan mahasiswa juga terdapat mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier adopters. Mereka adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa. Mereka biasanya diidentifikasi dengan sebutan “aktivis mahasiswa”. Namun, sebagian besar mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di kalangan mahasiswa bukanlah “musuh” dalam dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat umum. Kelompok mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan pentingnya melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, peran sebagai garda depan perubahan—dalam arti sesungguhnya—pada dasarnya hanya layak disandingkan pada kalangan aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan. Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda depan yang menggerakkan sebuah proses gerakan mahasiswa.
Selain itu, intensitas sebuah sebuah gerakan dalam proses perubahan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua kondisi, yakni pertama, kondisi subyektif, berupa hal-hal yang berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar belakang sosial, ideologi dan idealisme yang terbangun. Dan kedua, kondisi obyektif, adalah tatanan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa akan menguat tatkala kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya momentum-momentum perubahan sosial politik. Kedua kondisi ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam bahasan di bawah ini.
Aktivis dan Non Aktivis Mahasiswa
Mengapa sebuah gerakan mahasiswa dapat berlangsung, dan siapa yang menggerakkannya? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi tidak mudah untuk menjawabnya. Sarlito Wirawan Sarwono (1978) mencoba menjawab lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa tersebut dengan melakukan sebuah penelitian yang merupakan tesis doktoral pada Universitas Indonesia. Sarlito menggunakan istilah “gerakan protes” untuk menyebut aktivitas mahasiswa tesebut. Ia memulai risetnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan:
1.Mengapa gerakan protes mahasiswa terjadi? Faktor-faktor apa yang menentukan timbulnya gerakan protes?
2.Mahasiswa-mahasiswa manakah yang aktif berpartisipasi dalam gerakan-gerakan protes itu? Ciri-ciri psikologis apa yang membedakan mahasiswa-mahasiswa aktivis ini dari mahasiswa-mahasiswa non-aktivis lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenarnya juga telah ada dalam penelitian lain yang lebih dahulu, yang juga mempersoalkan hal yang sama, seperti yang telah dilakukan oleh Altbach, Lipset, Keniston, Feuer, dan Shimbori. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak bersifat penelitian sosiologis, dan bukan penelitian psikologis dan belum ada satu pun yang dilakukan di Indonesia.
Untuk membandingkan mahasiswa-mahasiswa yang pernah ikut dalam gerakan protes, Sarlito membagi mahasiswa dalam tiga jenis, yaitu:
1.Aktivis: mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes (minimum sekali)
2.Pemimpin: mahasiswa yang pernah memprakarsai atau mengorganisir suatu gerakan protes (minimum sekali)
3.Non-aktivis: mahasiswa yang tidak pernah ikut sama sekali dalam gerakan protes.
Sedangkan gerakan protes itu sendiri dirumuskan sebagai tindakan menentang otoritas (pemerintah atau pimpinan perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui saluran-saluran formal. Secara kuantitatif, terdapat perbedaan jumlah yang sangat mencolok antara pemimpin dan aktivis di satu pihak, dan non-aktivis di pihak lain. Dari seluruh responden (2.500 orang), 2,8% diantaranya tergolong pemimpin dan 5,4% dapat digolongkan aktivis. Sedangkan sisanya tergolong non-aktivis sebesar 91,8%. Data ini memberikan gambaran bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah kelompok minoritas di kampus dibandingkan dengan kalangan non-aktivis mahasiswa.
Penelitian yang berangkat dari hipotesa deprivasi relatif Gurr menghasilkan analisis yang sangat menarik. Pemimpin mempunyai beberapa sifat yang sama dengan aktivis dan mempunyai beberapa sifat lain pula yang sama dengan non-aktivis. Tetapi antara aktivis dan non aktivis hampir tidak dapat ditemukan persamaan-persamaan. Nampaknya hal ini memang wajar, yaitu seorang pemimpin memerlukan simpati dan dukungan dari semua pengikutnya, yang dalam hal ini terdiri dari aktivis maupun non-aktivis. Sebaliknya, aktivis tidak selalu mempunyai persamaan dengan non-aktivis karena aktivis pada dasarnya bergiat menurut garisnya sendiri, tidak membutuhkan pengikut. Pemimpin dan aktivis sama-sama merasa lebih pandai dari mahasiswa lainnya, duduk di tingkat yang lebih tinggi, lebih tua, lebih berpengalaman, kritis dan agresif. Mereka datang dari the pattern setting group atau kelas menengah ke atas. Pemimpin dan aktivis relatif lebih banyak di perguruan-perguruan tinggi swasta dan kota-kota besar.
Pemimpin berbeda dengan aktivis, ternyata lebih melihat kenyataan, lebih banyak mempertimbangkan realitas dari pada aktivis. Karena itu, pemimpin lebih bisa melihat hal-hal yang positif, tidak hanya melihat segi negatifnya saja dari sesuatu hal. Di lain pihak, aktivis lebih idealis dan dalam idealismenya itu ia cenderung melihat segala sesuatu serba tidak sempurna dan serba kurang memuaskan. Karena itu, ketidakpuasan aktivis lebih bertahan lama dan meluas mencakup segala hal, sedangkan ketidakpuasan pemimpin terbatas pada hal-hal tertentu saja dan hanya mengenai masalah-masalah yang prinsipil saja.
Non-aktivis di lain pihak, tidak melihat banyak hal yang perlu dirisaukan di sekitarnya. Segala sesuatu berjalan baik, dan kalaupun ada hambatan yang bisa menghalangi studinya, maka hambatan itu datang dari dirinya sendiri yang merasa kurang mampu. Satu syarat lain yang perlu dipunyai oleh seorang pemimpin tetapi tidak diperlukan oleh seorang aktivis adalah kemampuan bicara, kemampuan persuasi dan keberanian mengambil resiko. Mahasiswa-mahasiswa dari suku bangsa tertentu yang mempunyai kemampuan-kemampuan ini ternyata memang lebih banyak mempunyai pemimpin gerakan protes mahasiswa.
Adapun tempat-tempat persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan pemimpin gerakan protes mahasiswa adalah badan-badan kemahasiswaan intra universitas seperti Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiwa dan Pers Kampus. Sedangkan di kalangan organisasi mahasiswa ekstra universitas hanya organisasi-organisasi tertentu dan jabatan-jabatan tertentu saja yang cukup berarti bagi persemaian pemimpin dan aktivis gerakan protes mahasiswa. (Sarlito, 1978)
Secara keseluruhan, tesis Sarlito tersebut di atas cukup komprehensif, walaupun ada beberapa hal yang barangkali kurang relevan dengan kenyataan saat ini. Beberapa hal tersebut misalnya ia mengatakan bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa lebih banyak muncul di perguruan-perguruan tinggi swasta. Dalam kenyataannya, tidak ada hubungan yang signifikan antara perguruan tinggi swasta dan negeri dalam melahirkan pemimpin dan aktivis mahasiswa. Pendapat lain yang perlu dikoreksi adalah tempat persemaian yang baik untuk para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah lembaga kemahasiswaan intra universitas. Pendapat ini memang relevan dengan kondisi tahun 1970-an dimana suasana dan daya tarik aktivitas intra kampus lebih menonjol dibandingkan kegiatan-kegiatan di lembaga ekstra universitas.
Namun, sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan di semua perguruan tinggi lewat SK Kopkamtib No. Skep 01/kopkam/1978 dan ditindaklanjuti dengan SK NKK/BKK oleh Mendikbud Daoed Yusoef maka lembaga kemahasiswaan intra universitas nyaris lumpuh. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan berada dibawah kendali rektorat. Suatu proses yang tidak pernah membuat mahasiswa belajar berpolitik secara mandiri dan bertanggung jawab. Walaupun demikian, tesis Sarlito di atas cukup menjadi pijakan untuk melihat bagaimana kondisi subyektif yang membentuk mahasiswa menjadi seorang watak aktivis maupun non-aktivis. Demikian juga, kondisi tersebut secara signifikan berperan dalam tindakan protes, atau lebih luas lagi dalam sebuah gerakan mahasiswa secara keseluruhan.
Munculnya Gerakan Perubahan
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik menjelaskan beberapa pandangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan yang mengarah pada perubahan sosial. Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang demokrat. Sebuah pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.
Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.
Selain itu, dalam sebuah perubahan sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting yang menjadi pemicu lahirnya perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial baru. Perintis sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa faktor-faktor penting yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama, munculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang cenderung terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam sejarah Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa Timur, dan terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai perubahan sosial mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.
Sementara Huntington (1991) menjelaskan mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke demokratis dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik yang terjadi di Spanyol dan Brazil.
Kedua, model replasi (replacement). Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.
Ketiga, model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama terjadi di Bolivia dan Nicaragua.
Keempat, model intervensi (intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.
Mengacu pada beberapa rumusan teoritis di atas, maka dinamika keterlibatan mahasiswa dalam setiap momen perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung pada kondisi obyektif yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik, seperti Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung sulit menemukan bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari upaya sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap gerakan yang berseberangan dengan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa. Dalam kondisi yang demikian, maka yang terjadi adalah upaya pemasungan dan pengendalian hak-hak mahasiswa. Mahasiswa kemudian diarahkan menjadi “anak baik” yang akan mengisi kotak-kotak pembangunan, tanpa disertai adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai persoalan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung pembangunan untuk melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang terjadi selama ini.
Namun demikian, dalam logika gerakan, kondisi yang otoriterianisktik dan korup justru menjadi faktor awal untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan sosial lainnya. Dalam perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam wujud kapitalisme dan imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan mahasiswa. Dinamika kondisi politik yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, juga akan melahirkan berbagai gerakan mahasiswa yang selama ini terpendam di bawah permukaan. Atau menurut terminologi Huntington, dalam model replasi dan transplasi akan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan mahasiswa.
Selain itu, perkembangan gerakan mahasiswa di banyak negara lain di manca negara secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa di tanah air. Gerakan mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya sering menjadi referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan yang efektif bagi gerakan mahasiswa kita.
Gerakan Moral Versus Gerakan Politik
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.
Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai orientasi perubahan.
Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Indonesia
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum awal dari semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir secara modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang telah ada sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya keinginan besar mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme Belanda.
Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa dalam suatu karangan mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi ini pada pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat.
2.1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.
3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama.
4.1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik.
5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta.
SMID yang kemudian menjadi lembaga tingkat nasional menggambarkan rejim Orde Baru sebagai bersifat fasis dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem multipartai demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan usaha itu. Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang mencapai istana kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga ikut ambil bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang pemberantasan korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.
Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan.
Penutup
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada 1908 hingga tahun perubahan politik nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang surut mengikuti situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran sentral mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara maksimal, seperti pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif seperti yang dijelaskan Sarlito menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah kelompok minoritas kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap momentum gerakan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti dulu pada jaman NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.
Walaupun demikian, dengan melihat analisis di atas, maka tentu saja gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme gerakan tidak boleh redup. ***
Adie Usman Musa adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM tahun 1998-1999. Dipresentasikan dalam sebuah seminar tentang gerakan mahasiswa di kampus UGM, April 2002.
Daftar Pustaka
Akira Nagazumi, 1977, Masa awal Pembentukan “Perhimpunan Indonesia”: Kegiatan Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, 1916 – 1917, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Anders Uhlin, 1998, Oposisi Berserak; Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal Universal, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sarlito W. Sarwono, 1979, Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa: Suatu Studi Psikologi Sosial, Prisma, Jakarta
Oleh: Zayardin Adin
Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut (kelompok kesiangan), setelah perubahan berlangsung.
Munculnya kelompok kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap perubahan sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah proses inovasi dalam perubahan sosial, Hadley Read (1979) mengatakan bahwa biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor (earlier adopters) yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil komponen masyarakat lainnya masuk dalam kelompok ini. Setelah kelompok pelopor melakukan sosialisasi dalam waktu tertentu, barulah muncul “kelompok kesiangan” (later adopters) yang jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa kelompok kecil yang menolak sama sekali inovasi yang sudah memasyarakat itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung status quo (non adopters). Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat dalam setiap perubahan sosial yang tengah berlangsung. Mereka adalah kelompok masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah sistem yang menguntungkan mereka. Kelompok ini juga yang diidentifikasi oleh mahasiswa sebagai musuh mereka.
Klasifikasi Read di atas tidak hanya berlaku umum dalam masyarakat ketika perubahan berlangsung, ia juga terjadi dalam tubuh mahasiswa sendiri. Di kalangan mahasiswa juga terdapat mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier adopters. Mereka adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa. Mereka biasanya diidentifikasi dengan sebutan “aktivis mahasiswa”. Namun, sebagian besar mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di kalangan mahasiswa bukanlah “musuh” dalam dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat umum. Kelompok mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan pentingnya melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, peran sebagai garda depan perubahan—dalam arti sesungguhnya—pada dasarnya hanya layak disandingkan pada kalangan aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan. Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda depan yang menggerakkan sebuah proses gerakan mahasiswa.
Selain itu, intensitas sebuah sebuah gerakan dalam proses perubahan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua kondisi, yakni pertama, kondisi subyektif, berupa hal-hal yang berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar belakang sosial, ideologi dan idealisme yang terbangun. Dan kedua, kondisi obyektif, adalah tatanan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa akan menguat tatkala kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya momentum-momentum perubahan sosial politik. Kedua kondisi ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam bahasan di bawah ini.
Aktivis dan Non Aktivis Mahasiswa
Mengapa sebuah gerakan mahasiswa dapat berlangsung, dan siapa yang menggerakkannya? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi tidak mudah untuk menjawabnya. Sarlito Wirawan Sarwono (1978) mencoba menjawab lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa tersebut dengan melakukan sebuah penelitian yang merupakan tesis doktoral pada Universitas Indonesia. Sarlito menggunakan istilah “gerakan protes” untuk menyebut aktivitas mahasiswa tesebut. Ia memulai risetnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan:
1.Mengapa gerakan protes mahasiswa terjadi? Faktor-faktor apa yang menentukan timbulnya gerakan protes?
2.Mahasiswa-mahasiswa manakah yang aktif berpartisipasi dalam gerakan-gerakan protes itu? Ciri-ciri psikologis apa yang membedakan mahasiswa-mahasiswa aktivis ini dari mahasiswa-mahasiswa non-aktivis lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenarnya juga telah ada dalam penelitian lain yang lebih dahulu, yang juga mempersoalkan hal yang sama, seperti yang telah dilakukan oleh Altbach, Lipset, Keniston, Feuer, dan Shimbori. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak bersifat penelitian sosiologis, dan bukan penelitian psikologis dan belum ada satu pun yang dilakukan di Indonesia.
Untuk membandingkan mahasiswa-mahasiswa yang pernah ikut dalam gerakan protes, Sarlito membagi mahasiswa dalam tiga jenis, yaitu:
1.Aktivis: mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes (minimum sekali)
2.Pemimpin: mahasiswa yang pernah memprakarsai atau mengorganisir suatu gerakan protes (minimum sekali)
3.Non-aktivis: mahasiswa yang tidak pernah ikut sama sekali dalam gerakan protes.
Sedangkan gerakan protes itu sendiri dirumuskan sebagai tindakan menentang otoritas (pemerintah atau pimpinan perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui saluran-saluran formal. Secara kuantitatif, terdapat perbedaan jumlah yang sangat mencolok antara pemimpin dan aktivis di satu pihak, dan non-aktivis di pihak lain. Dari seluruh responden (2.500 orang), 2,8% diantaranya tergolong pemimpin dan 5,4% dapat digolongkan aktivis. Sedangkan sisanya tergolong non-aktivis sebesar 91,8%. Data ini memberikan gambaran bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah kelompok minoritas di kampus dibandingkan dengan kalangan non-aktivis mahasiswa.
Penelitian yang berangkat dari hipotesa deprivasi relatif Gurr menghasilkan analisis yang sangat menarik. Pemimpin mempunyai beberapa sifat yang sama dengan aktivis dan mempunyai beberapa sifat lain pula yang sama dengan non-aktivis. Tetapi antara aktivis dan non aktivis hampir tidak dapat ditemukan persamaan-persamaan. Nampaknya hal ini memang wajar, yaitu seorang pemimpin memerlukan simpati dan dukungan dari semua pengikutnya, yang dalam hal ini terdiri dari aktivis maupun non-aktivis. Sebaliknya, aktivis tidak selalu mempunyai persamaan dengan non-aktivis karena aktivis pada dasarnya bergiat menurut garisnya sendiri, tidak membutuhkan pengikut. Pemimpin dan aktivis sama-sama merasa lebih pandai dari mahasiswa lainnya, duduk di tingkat yang lebih tinggi, lebih tua, lebih berpengalaman, kritis dan agresif. Mereka datang dari the pattern setting group atau kelas menengah ke atas. Pemimpin dan aktivis relatif lebih banyak di perguruan-perguruan tinggi swasta dan kota-kota besar.
Pemimpin berbeda dengan aktivis, ternyata lebih melihat kenyataan, lebih banyak mempertimbangkan realitas dari pada aktivis. Karena itu, pemimpin lebih bisa melihat hal-hal yang positif, tidak hanya melihat segi negatifnya saja dari sesuatu hal. Di lain pihak, aktivis lebih idealis dan dalam idealismenya itu ia cenderung melihat segala sesuatu serba tidak sempurna dan serba kurang memuaskan. Karena itu, ketidakpuasan aktivis lebih bertahan lama dan meluas mencakup segala hal, sedangkan ketidakpuasan pemimpin terbatas pada hal-hal tertentu saja dan hanya mengenai masalah-masalah yang prinsipil saja.
Non-aktivis di lain pihak, tidak melihat banyak hal yang perlu dirisaukan di sekitarnya. Segala sesuatu berjalan baik, dan kalaupun ada hambatan yang bisa menghalangi studinya, maka hambatan itu datang dari dirinya sendiri yang merasa kurang mampu. Satu syarat lain yang perlu dipunyai oleh seorang pemimpin tetapi tidak diperlukan oleh seorang aktivis adalah kemampuan bicara, kemampuan persuasi dan keberanian mengambil resiko. Mahasiswa-mahasiswa dari suku bangsa tertentu yang mempunyai kemampuan-kemampuan ini ternyata memang lebih banyak mempunyai pemimpin gerakan protes mahasiswa.
Adapun tempat-tempat persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan pemimpin gerakan protes mahasiswa adalah badan-badan kemahasiswaan intra universitas seperti Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiwa dan Pers Kampus. Sedangkan di kalangan organisasi mahasiswa ekstra universitas hanya organisasi-organisasi tertentu dan jabatan-jabatan tertentu saja yang cukup berarti bagi persemaian pemimpin dan aktivis gerakan protes mahasiswa. (Sarlito, 1978)
Secara keseluruhan, tesis Sarlito tersebut di atas cukup komprehensif, walaupun ada beberapa hal yang barangkali kurang relevan dengan kenyataan saat ini. Beberapa hal tersebut misalnya ia mengatakan bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa lebih banyak muncul di perguruan-perguruan tinggi swasta. Dalam kenyataannya, tidak ada hubungan yang signifikan antara perguruan tinggi swasta dan negeri dalam melahirkan pemimpin dan aktivis mahasiswa. Pendapat lain yang perlu dikoreksi adalah tempat persemaian yang baik untuk para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah lembaga kemahasiswaan intra universitas. Pendapat ini memang relevan dengan kondisi tahun 1970-an dimana suasana dan daya tarik aktivitas intra kampus lebih menonjol dibandingkan kegiatan-kegiatan di lembaga ekstra universitas.
Namun, sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan di semua perguruan tinggi lewat SK Kopkamtib No. Skep 01/kopkam/1978 dan ditindaklanjuti dengan SK NKK/BKK oleh Mendikbud Daoed Yusoef maka lembaga kemahasiswaan intra universitas nyaris lumpuh. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan berada dibawah kendali rektorat. Suatu proses yang tidak pernah membuat mahasiswa belajar berpolitik secara mandiri dan bertanggung jawab. Walaupun demikian, tesis Sarlito di atas cukup menjadi pijakan untuk melihat bagaimana kondisi subyektif yang membentuk mahasiswa menjadi seorang watak aktivis maupun non-aktivis. Demikian juga, kondisi tersebut secara signifikan berperan dalam tindakan protes, atau lebih luas lagi dalam sebuah gerakan mahasiswa secara keseluruhan.
Munculnya Gerakan Perubahan
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik menjelaskan beberapa pandangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan yang mengarah pada perubahan sosial. Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang demokrat. Sebuah pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.
Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.
Selain itu, dalam sebuah perubahan sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting yang menjadi pemicu lahirnya perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial baru. Perintis sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa faktor-faktor penting yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama, munculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang cenderung terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam sejarah Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa Timur, dan terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai perubahan sosial mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.
Sementara Huntington (1991) menjelaskan mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke demokratis dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik yang terjadi di Spanyol dan Brazil.
Kedua, model replasi (replacement). Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.
Ketiga, model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama terjadi di Bolivia dan Nicaragua.
Keempat, model intervensi (intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.
Mengacu pada beberapa rumusan teoritis di atas, maka dinamika keterlibatan mahasiswa dalam setiap momen perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung pada kondisi obyektif yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik, seperti Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung sulit menemukan bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari upaya sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap gerakan yang berseberangan dengan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa. Dalam kondisi yang demikian, maka yang terjadi adalah upaya pemasungan dan pengendalian hak-hak mahasiswa. Mahasiswa kemudian diarahkan menjadi “anak baik” yang akan mengisi kotak-kotak pembangunan, tanpa disertai adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai persoalan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung pembangunan untuk melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang terjadi selama ini.
Namun demikian, dalam logika gerakan, kondisi yang otoriterianisktik dan korup justru menjadi faktor awal untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan sosial lainnya. Dalam perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam wujud kapitalisme dan imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan mahasiswa. Dinamika kondisi politik yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, juga akan melahirkan berbagai gerakan mahasiswa yang selama ini terpendam di bawah permukaan. Atau menurut terminologi Huntington, dalam model replasi dan transplasi akan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan mahasiswa.
Selain itu, perkembangan gerakan mahasiswa di banyak negara lain di manca negara secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa di tanah air. Gerakan mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya sering menjadi referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan yang efektif bagi gerakan mahasiswa kita.
Gerakan Moral Versus Gerakan Politik
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.
Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai orientasi perubahan.
Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Indonesia
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum awal dari semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir secara modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang telah ada sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya keinginan besar mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme Belanda.
Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa dalam suatu karangan mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi ini pada pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat.
2.1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.
3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama.
4.1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik.
5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta.
SMID yang kemudian menjadi lembaga tingkat nasional menggambarkan rejim Orde Baru sebagai bersifat fasis dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem multipartai demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan usaha itu. Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang mencapai istana kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga ikut ambil bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang pemberantasan korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.
Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan.
Penutup
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada 1908 hingga tahun perubahan politik nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang surut mengikuti situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran sentral mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara maksimal, seperti pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif seperti yang dijelaskan Sarlito menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah kelompok minoritas kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap momentum gerakan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti dulu pada jaman NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.
Walaupun demikian, dengan melihat analisis di atas, maka tentu saja gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme gerakan tidak boleh redup. ***
Adie Usman Musa adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM tahun 1998-1999. Dipresentasikan dalam sebuah seminar tentang gerakan mahasiswa di kampus UGM, April 2002.
Daftar Pustaka
Akira Nagazumi, 1977, Masa awal Pembentukan “Perhimpunan Indonesia”: Kegiatan Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, 1916 – 1917, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Anders Uhlin, 1998, Oposisi Berserak; Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal Universal, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sarlito W. Sarwono, 1979, Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa: Suatu Studi Psikologi Sosial, Prisma, Jakarta
MEMAKNAI “ HAKIKAT MAHASISWA” ( MELIHAT RALITAS YANG TERJADI) !!!
MEMAKNAI “ HAKIKAT MAHASISWA”
( MELIHAT RALITAS YANG TERJADI) !!!
Sudah saatnya kita termenung sejenak!!! Sudahkah kita memaknai hakikat Mahasiswa itu sendiri???. Di dalam diri kita telah melekat indentitas Mahasiswa yang menjadi kebanggaan dan sering kita jadikan sebagai simbol untuk menambah percaya diri dalam tingkah laku sehari-hari. Bahkan, saat Mahasiswa turun kejalan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan serta memperjuangkan hak-hak rakyat, maka seolah-olah Mahasiswa sering diibaratkan sebagai kesatria sejati yang berdiri dengan gagah berani, bersiap untuk menghancurkan rezim angkara murka. Namun, melihat realitas yang terjadi disekitar kita (khusus dikalangan Mahasiswa), ternyata ada sebagian kawan-kawan Mahasiswa mulai mengingkari dirinya sebagai seorang mahasiswa yang sejati. Maka berbagai macam corak dan karakter Mahasiswa hari ini mulai muncul dipermukaan untuk mendominasi dinamika pergaulan yang terjadi didunia kampus. Mahasiswa yang dikonotasikan sebagai kaum intelektual, haus ilmu pengetahuan, pejuang hak-hak rakyat baik disadari maupun tidak disadari kini mulai terkikis sedikit demi sedikit oleh sifat apatis dari kawan-kawan Mahasiswa terhadap alam berpikir intelektual dan rasional sehingga “ Kesakralan” dan “Wibawa” seorang Mahasiswa lambat laun akan memudar.
Hakikat……Mahasiswa……!!! Kalimat yang tidak asing lagi bagi kita. Untuk melihat, membaca dan mendengarnya adalah sesuatu hal yang sangat gampang dan enteng dibandingkan mamasukan sesuap nasi kedalam mulut. Namun, untuk memaknai hakikat Mahasiswa maka dibutuhkan suatu pemikiran yang jernih dan rasional serta perlu kita renungkan secara mendalam. Untuk mengaplikasikan makan hakikat Mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari, hal inilah yang mulai dilupakan oleh kawan-kawan Mahasiswa.
Munculnya pertanyaan mendasar pada awal kalimat diatas “Sudakah Kita Memaknai Hakikat Mahasiswa Itu Sendiri”???, karena adanya keresahan yang muncul dalam hati ini, melihat suasana yang terjadi dikampus, dimana kampus yang mana seharusnya menjadi “istana” bagi Mahasiswa yang “haus akan ilmu pengetahuan”, namun kini kampus yang kita banggakan ini seolah-olah telah beralih fungsi manjadi tempat “fashion” bagi kawan-kawan mahasiswa yang terobsesi menjadi seorang artis, tempat bagi mahasiswa yang ingin berhura-hura dan apatis dengan dunia ilmiah, kampus hanya dijadikan sebagai tempat untuk mengisi waktu yang kosong saat tidak ada kegiatan di rumah. Sehingga mahasiswa hanya datang ke kampus, duduk dan diam mendengarkan penjelasan dari dosen kemudian pulang ke kamar tanpa memperoleh ilmu pengetahuan. Kelompok-kelompok diskusi ilmiah kini jarang kita jumpai, bahkan untuk mengingat dan melestarikannya kembali, sama sekali tidak terbesik lagi dalam benak Mahasiswa. Kini Mahasiswa hanya mengedepankan sifat hidup hedonisme, komersialisme, kapitalisme. Lalu dikemanakan amanah yang diembankan kepada kita sebagai Mahasiswa sejati….. dikemanakan…..???. bahkan lebih parahnya lagi ada sebahagian Mahasiswa yang hanya datang ke kampus kembali ke kamar kost, kemudian pada saat liburan mahasiswa tiba, diapun kemudian kembali ke kampung halaman dengan gaya parlente membawa kehampaan ilmu pengetahuan, didalam otaknya hanya berisikan lumpur yang penuh kemunafikan karena telah mengingkari amanah yang diberikan oleh Ayah dan Bunda. Lalu bagaimana kita menebus dosa-dosa itu…..???. Apakah kita hanya bisa diam melihat realitas yang terjadi dikampus kita yang tercinta ini…..???.
Sadarlah…..Wahai Kawan-kawanku Mahasiswa!!! Bangun dari mimpimu untuk tetap terobsesi menjadi seorang artis. Terhipnotis oleh gaya hidup hedonisme, komersialisme, dan kapitalisme. Sudah saatnya kawan-kawan Mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai seorang Mahasiswa yang sejati dan memaknai hakikat seorang Mahasiswa, sebagaimana yang tercermin dalam “ TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI “ yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian terhadap Masyarakat.
Mahasiswa harus menjadi aktifis perubahan ( agent of change ), karena melihat posisi dan peran insan kampus yang kini mengalami titik kritis karena pandangan masyarakat terhadap kampus yang mulai suram. Mengembalikan kembali citra kampus sebagai “ Surga “ bagi orang-orang yang “ Rindu dengan Ilmu Pengetahuan “. Hiasi kembali kampus ini dengan kelompok-kelompok diskusi ilmiah, memberikan berbagai macam argumen tentang harapan kita kedepan dan mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi.
Saatnya kita memaknai dan mengaplikasikan hakekat Mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pada saat kita bertingkahlaku benar-benar mencerminkan manusia intelektual dan menjadi panutan setiap orang. Sehingga kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi Diri Sendiri, Masyarakat, Bangsa, dan Negara!!!
HIDUP MAHASISWA…..!!! HIDUP MAHASISWA…..!!! HIDUP MAHASISWA…..!!!
Billahi Taufiq Walhidayah Wassallamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Oleh : Zayardin Adin
Mahasiswa Marketing Manajemen FE UN
( MELIHAT RALITAS YANG TERJADI) !!!
Sudah saatnya kita termenung sejenak!!! Sudahkah kita memaknai hakikat Mahasiswa itu sendiri???. Di dalam diri kita telah melekat indentitas Mahasiswa yang menjadi kebanggaan dan sering kita jadikan sebagai simbol untuk menambah percaya diri dalam tingkah laku sehari-hari. Bahkan, saat Mahasiswa turun kejalan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan serta memperjuangkan hak-hak rakyat, maka seolah-olah Mahasiswa sering diibaratkan sebagai kesatria sejati yang berdiri dengan gagah berani, bersiap untuk menghancurkan rezim angkara murka. Namun, melihat realitas yang terjadi disekitar kita (khusus dikalangan Mahasiswa), ternyata ada sebagian kawan-kawan Mahasiswa mulai mengingkari dirinya sebagai seorang mahasiswa yang sejati. Maka berbagai macam corak dan karakter Mahasiswa hari ini mulai muncul dipermukaan untuk mendominasi dinamika pergaulan yang terjadi didunia kampus. Mahasiswa yang dikonotasikan sebagai kaum intelektual, haus ilmu pengetahuan, pejuang hak-hak rakyat baik disadari maupun tidak disadari kini mulai terkikis sedikit demi sedikit oleh sifat apatis dari kawan-kawan Mahasiswa terhadap alam berpikir intelektual dan rasional sehingga “ Kesakralan” dan “Wibawa” seorang Mahasiswa lambat laun akan memudar.
Hakikat……Mahasiswa……!!! Kalimat yang tidak asing lagi bagi kita. Untuk melihat, membaca dan mendengarnya adalah sesuatu hal yang sangat gampang dan enteng dibandingkan mamasukan sesuap nasi kedalam mulut. Namun, untuk memaknai hakikat Mahasiswa maka dibutuhkan suatu pemikiran yang jernih dan rasional serta perlu kita renungkan secara mendalam. Untuk mengaplikasikan makan hakikat Mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari, hal inilah yang mulai dilupakan oleh kawan-kawan Mahasiswa.
Munculnya pertanyaan mendasar pada awal kalimat diatas “Sudakah Kita Memaknai Hakikat Mahasiswa Itu Sendiri”???, karena adanya keresahan yang muncul dalam hati ini, melihat suasana yang terjadi dikampus, dimana kampus yang mana seharusnya menjadi “istana” bagi Mahasiswa yang “haus akan ilmu pengetahuan”, namun kini kampus yang kita banggakan ini seolah-olah telah beralih fungsi manjadi tempat “fashion” bagi kawan-kawan mahasiswa yang terobsesi menjadi seorang artis, tempat bagi mahasiswa yang ingin berhura-hura dan apatis dengan dunia ilmiah, kampus hanya dijadikan sebagai tempat untuk mengisi waktu yang kosong saat tidak ada kegiatan di rumah. Sehingga mahasiswa hanya datang ke kampus, duduk dan diam mendengarkan penjelasan dari dosen kemudian pulang ke kamar tanpa memperoleh ilmu pengetahuan. Kelompok-kelompok diskusi ilmiah kini jarang kita jumpai, bahkan untuk mengingat dan melestarikannya kembali, sama sekali tidak terbesik lagi dalam benak Mahasiswa. Kini Mahasiswa hanya mengedepankan sifat hidup hedonisme, komersialisme, kapitalisme. Lalu dikemanakan amanah yang diembankan kepada kita sebagai Mahasiswa sejati….. dikemanakan…..???. bahkan lebih parahnya lagi ada sebahagian Mahasiswa yang hanya datang ke kampus kembali ke kamar kost, kemudian pada saat liburan mahasiswa tiba, diapun kemudian kembali ke kampung halaman dengan gaya parlente membawa kehampaan ilmu pengetahuan, didalam otaknya hanya berisikan lumpur yang penuh kemunafikan karena telah mengingkari amanah yang diberikan oleh Ayah dan Bunda. Lalu bagaimana kita menebus dosa-dosa itu…..???. Apakah kita hanya bisa diam melihat realitas yang terjadi dikampus kita yang tercinta ini…..???.
Sadarlah…..Wahai Kawan-kawanku Mahasiswa!!! Bangun dari mimpimu untuk tetap terobsesi menjadi seorang artis. Terhipnotis oleh gaya hidup hedonisme, komersialisme, dan kapitalisme. Sudah saatnya kawan-kawan Mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai seorang Mahasiswa yang sejati dan memaknai hakikat seorang Mahasiswa, sebagaimana yang tercermin dalam “ TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI “ yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian terhadap Masyarakat.
Mahasiswa harus menjadi aktifis perubahan ( agent of change ), karena melihat posisi dan peran insan kampus yang kini mengalami titik kritis karena pandangan masyarakat terhadap kampus yang mulai suram. Mengembalikan kembali citra kampus sebagai “ Surga “ bagi orang-orang yang “ Rindu dengan Ilmu Pengetahuan “. Hiasi kembali kampus ini dengan kelompok-kelompok diskusi ilmiah, memberikan berbagai macam argumen tentang harapan kita kedepan dan mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi.
Saatnya kita memaknai dan mengaplikasikan hakekat Mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pada saat kita bertingkahlaku benar-benar mencerminkan manusia intelektual dan menjadi panutan setiap orang. Sehingga kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi Diri Sendiri, Masyarakat, Bangsa, dan Negara!!!
HIDUP MAHASISWA…..!!! HIDUP MAHASISWA…..!!! HIDUP MAHASISWA…..!!!
Billahi Taufiq Walhidayah Wassallamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Oleh : Zayardin Adin
Mahasiswa Marketing Manajemen FE UN
Langganan:
Postingan (Atom)