Senin, 21 Februari 2011

Melihat Kembali Dinamika Gerakan Mahasiswa

Melihat Kembali Dinamika Gerakan Mahasiswa

Oleh: Zayardin Adin

Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.

Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.

Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut (kelompok kesiangan), setelah perubahan berlangsung.

Munculnya kelompok kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap perubahan sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah proses inovasi dalam perubahan sosial, Hadley Read (1979) mengatakan bahwa biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor (earlier adopters) yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil komponen masyarakat lainnya masuk dalam kelompok ini. Setelah kelompok pelopor melakukan sosialisasi dalam waktu tertentu, barulah muncul “kelompok kesiangan” (later adopters) yang jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa kelompok kecil yang menolak sama sekali inovasi yang sudah memasyarakat itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung status quo (non adopters). Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat dalam setiap perubahan sosial yang tengah berlangsung. Mereka adalah kelompok masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah sistem yang menguntungkan mereka. Kelompok ini juga yang diidentifikasi oleh mahasiswa sebagai musuh mereka.

Klasifikasi Read di atas tidak hanya berlaku umum dalam masyarakat ketika perubahan berlangsung, ia juga terjadi dalam tubuh mahasiswa sendiri. Di kalangan mahasiswa juga terdapat mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier adopters. Mereka adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa. Mereka biasanya diidentifikasi dengan sebutan “aktivis mahasiswa”. Namun, sebagian besar mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di kalangan mahasiswa bukanlah “musuh” dalam dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat umum. Kelompok mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan pentingnya melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, peran sebagai garda depan perubahan—dalam arti sesungguhnya—pada dasarnya hanya layak disandingkan pada kalangan aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan. Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda depan yang menggerakkan sebuah proses gerakan mahasiswa.

Selain itu, intensitas sebuah sebuah gerakan dalam proses perubahan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua kondisi, yakni pertama, kondisi subyektif, berupa hal-hal yang berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar belakang sosial, ideologi dan idealisme yang terbangun. Dan kedua, kondisi obyektif, adalah tatanan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa akan menguat tatkala kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya momentum-momentum perubahan sosial politik. Kedua kondisi ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam bahasan di bawah ini.

Aktivis dan Non Aktivis Mahasiswa
Mengapa sebuah gerakan mahasiswa dapat berlangsung, dan siapa yang menggerakkannya? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi tidak mudah untuk menjawabnya. Sarlito Wirawan Sarwono (1978) mencoba menjawab lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa tersebut dengan melakukan sebuah penelitian yang merupakan tesis doktoral pada Universitas Indonesia. Sarlito menggunakan istilah “gerakan protes” untuk menyebut aktivitas mahasiswa tesebut. Ia memulai risetnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan:
1.Mengapa gerakan protes mahasiswa terjadi? Faktor-faktor apa yang menentukan timbulnya gerakan protes?
2.Mahasiswa-mahasiswa manakah yang aktif berpartisipasi dalam gerakan-gerakan protes itu? Ciri-ciri psikologis apa yang membedakan mahasiswa-mahasiswa aktivis ini dari mahasiswa-mahasiswa non-aktivis lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenarnya juga telah ada dalam penelitian lain yang lebih dahulu, yang juga mempersoalkan hal yang sama, seperti yang telah dilakukan oleh Altbach, Lipset, Keniston, Feuer, dan Shimbori. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak bersifat penelitian sosiologis, dan bukan penelitian psikologis dan belum ada satu pun yang dilakukan di Indonesia.

Untuk membandingkan mahasiswa-mahasiswa yang pernah ikut dalam gerakan protes, Sarlito membagi mahasiswa dalam tiga jenis, yaitu:
1.Aktivis: mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes (minimum sekali)
2.Pemimpin: mahasiswa yang pernah memprakarsai atau mengorganisir suatu gerakan protes (minimum sekali)
3.Non-aktivis: mahasiswa yang tidak pernah ikut sama sekali dalam gerakan protes.

Sedangkan gerakan protes itu sendiri dirumuskan sebagai tindakan menentang otoritas (pemerintah atau pimpinan perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui saluran-saluran formal. Secara kuantitatif, terdapat perbedaan jumlah yang sangat mencolok antara pemimpin dan aktivis di satu pihak, dan non-aktivis di pihak lain. Dari seluruh responden (2.500 orang), 2,8% diantaranya tergolong pemimpin dan 5,4% dapat digolongkan aktivis. Sedangkan sisanya tergolong non-aktivis sebesar 91,8%. Data ini memberikan gambaran bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah kelompok minoritas di kampus dibandingkan dengan kalangan non-aktivis mahasiswa.
Penelitian yang berangkat dari hipotesa deprivasi relatif Gurr menghasilkan analisis yang sangat menarik. Pemimpin mempunyai beberapa sifat yang sama dengan aktivis dan mempunyai beberapa sifat lain pula yang sama dengan non-aktivis. Tetapi antara aktivis dan non aktivis hampir tidak dapat ditemukan persamaan-persamaan. Nampaknya hal ini memang wajar, yaitu seorang pemimpin memerlukan simpati dan dukungan dari semua pengikutnya, yang dalam hal ini terdiri dari aktivis maupun non-aktivis. Sebaliknya, aktivis tidak selalu mempunyai persamaan dengan non-aktivis karena aktivis pada dasarnya bergiat menurut garisnya sendiri, tidak membutuhkan pengikut. Pemimpin dan aktivis sama-sama merasa lebih pandai dari mahasiswa lainnya, duduk di tingkat yang lebih tinggi, lebih tua, lebih berpengalaman, kritis dan agresif. Mereka datang dari the pattern setting group atau kelas menengah ke atas. Pemimpin dan aktivis relatif lebih banyak di perguruan-perguruan tinggi swasta dan kota-kota besar.

Pemimpin berbeda dengan aktivis, ternyata lebih melihat kenyataan, lebih banyak mempertimbangkan realitas dari pada aktivis. Karena itu, pemimpin lebih bisa melihat hal-hal yang positif, tidak hanya melihat segi negatifnya saja dari sesuatu hal. Di lain pihak, aktivis lebih idealis dan dalam idealismenya itu ia cenderung melihat segala sesuatu serba tidak sempurna dan serba kurang memuaskan. Karena itu, ketidakpuasan aktivis lebih bertahan lama dan meluas mencakup segala hal, sedangkan ketidakpuasan pemimpin terbatas pada hal-hal tertentu saja dan hanya mengenai masalah-masalah yang prinsipil saja.

Non-aktivis di lain pihak, tidak melihat banyak hal yang perlu dirisaukan di sekitarnya. Segala sesuatu berjalan baik, dan kalaupun ada hambatan yang bisa menghalangi studinya, maka hambatan itu datang dari dirinya sendiri yang merasa kurang mampu. Satu syarat lain yang perlu dipunyai oleh seorang pemimpin tetapi tidak diperlukan oleh seorang aktivis adalah kemampuan bicara, kemampuan persuasi dan keberanian mengambil resiko. Mahasiswa-mahasiswa dari suku bangsa tertentu yang mempunyai kemampuan-kemampuan ini ternyata memang lebih banyak mempunyai pemimpin gerakan protes mahasiswa.

Adapun tempat-tempat persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan pemimpin gerakan protes mahasiswa adalah badan-badan kemahasiswaan intra universitas seperti Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiwa dan Pers Kampus. Sedangkan di kalangan organisasi mahasiswa ekstra universitas hanya organisasi-organisasi tertentu dan jabatan-jabatan tertentu saja yang cukup berarti bagi persemaian pemimpin dan aktivis gerakan protes mahasiswa. (Sarlito, 1978)

Secara keseluruhan, tesis Sarlito tersebut di atas cukup komprehensif, walaupun ada beberapa hal yang barangkali kurang relevan dengan kenyataan saat ini. Beberapa hal tersebut misalnya ia mengatakan bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa lebih banyak muncul di perguruan-perguruan tinggi swasta. Dalam kenyataannya, tidak ada hubungan yang signifikan antara perguruan tinggi swasta dan negeri dalam melahirkan pemimpin dan aktivis mahasiswa. Pendapat lain yang perlu dikoreksi adalah tempat persemaian yang baik untuk para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah lembaga kemahasiswaan intra universitas. Pendapat ini memang relevan dengan kondisi tahun 1970-an dimana suasana dan daya tarik aktivitas intra kampus lebih menonjol dibandingkan kegiatan-kegiatan di lembaga ekstra universitas.

Namun, sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan di semua perguruan tinggi lewat SK Kopkamtib No. Skep 01/kopkam/1978 dan ditindaklanjuti dengan SK NKK/BKK oleh Mendikbud Daoed Yusoef maka lembaga kemahasiswaan intra universitas nyaris lumpuh. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan berada dibawah kendali rektorat. Suatu proses yang tidak pernah membuat mahasiswa belajar berpolitik secara mandiri dan bertanggung jawab. Walaupun demikian, tesis Sarlito di atas cukup menjadi pijakan untuk melihat bagaimana kondisi subyektif yang membentuk mahasiswa menjadi seorang watak aktivis maupun non-aktivis. Demikian juga, kondisi tersebut secara signifikan berperan dalam tindakan protes, atau lebih luas lagi dalam sebuah gerakan mahasiswa secara keseluruhan.

Munculnya Gerakan Perubahan
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik menjelaskan beberapa pandangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan yang mengarah pada perubahan sosial. Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang demokrat. Sebuah pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.

Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.

Selain itu, dalam sebuah perubahan sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting yang menjadi pemicu lahirnya perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial baru. Perintis sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa faktor-faktor penting yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama, munculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang cenderung terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam sejarah Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa Timur, dan terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai perubahan sosial mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.

Sementara Huntington (1991) menjelaskan mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke demokratis dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik yang terjadi di Spanyol dan Brazil.

Kedua, model replasi (replacement). Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.

Ketiga, model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama terjadi di Bolivia dan Nicaragua.

Keempat, model intervensi (intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.

Mengacu pada beberapa rumusan teoritis di atas, maka dinamika keterlibatan mahasiswa dalam setiap momen perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung pada kondisi obyektif yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik, seperti Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung sulit menemukan bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari upaya sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap gerakan yang berseberangan dengan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa. Dalam kondisi yang demikian, maka yang terjadi adalah upaya pemasungan dan pengendalian hak-hak mahasiswa. Mahasiswa kemudian diarahkan menjadi “anak baik” yang akan mengisi kotak-kotak pembangunan, tanpa disertai adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai persoalan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung pembangunan untuk melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang terjadi selama ini.

Namun demikian, dalam logika gerakan, kondisi yang otoriterianisktik dan korup justru menjadi faktor awal untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan sosial lainnya. Dalam perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam wujud kapitalisme dan imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan mahasiswa. Dinamika kondisi politik yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, juga akan melahirkan berbagai gerakan mahasiswa yang selama ini terpendam di bawah permukaan. Atau menurut terminologi Huntington, dalam model replasi dan transplasi akan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan mahasiswa.

Selain itu, perkembangan gerakan mahasiswa di banyak negara lain di manca negara secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa di tanah air. Gerakan mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya sering menjadi referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan yang efektif bagi gerakan mahasiswa kita.

Gerakan Moral Versus Gerakan Politik
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.

Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.

Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.

Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.

Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.

Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai orientasi perubahan.

Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Indonesia
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum awal dari semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir secara modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang telah ada sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya keinginan besar mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme Belanda.

Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa dalam suatu karangan mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi ini pada pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat.
2.1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.
3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama.
4.1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik.
5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.

Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.

Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).

Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).

Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.

Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.

Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.

Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta.

SMID yang kemudian menjadi lembaga tingkat nasional menggambarkan rejim Orde Baru sebagai bersifat fasis dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem multipartai demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan usaha itu. Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang mencapai istana kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga ikut ambil bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang pemberantasan korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.

Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.

Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan.

Penutup
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada 1908 hingga tahun perubahan politik nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang surut mengikuti situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran sentral mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara maksimal, seperti pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif seperti yang dijelaskan Sarlito menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah kelompok minoritas kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap momentum gerakan.

Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti dulu pada jaman NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.

Walaupun demikian, dengan melihat analisis di atas, maka tentu saja gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme gerakan tidak boleh redup. ***

Adie Usman Musa adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM tahun 1998-1999. Dipresentasikan dalam sebuah seminar tentang gerakan mahasiswa di kampus UGM, April 2002.

Daftar Pustaka
Akira Nagazumi, 1977, Masa awal Pembentukan “Perhimpunan Indonesia”: Kegiatan Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, 1916 – 1917, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Anders Uhlin, 1998, Oposisi Berserak; Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal Universal, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sarlito W. Sarwono, 1979, Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa: Suatu Studi Psikologi Sosial, Prisma, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar